Gong Nekara

C. Ribbe, seorang peneliti asal Belanda pada tahun 1882 mengadakan penelitian untuk mengetahui asal usul gong nekara
-----------
Gong Nekara terbesar di Asia Tenggara dan bahkan tertua di dunia[4] adalah gong nekara yang ada di
Pulau Selayar. Menurut informasi dari tetua adat dan penduduk Kelurahan Bontobangun (tempat ditemukannya gong nekara), gong tersebut ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang penduduk dari Kampung Rea-Rea yang bernama Sabuna pada tahun 1686. Pada saat itu Sabuna sedang mengerjakan sawah Raja Putabangun di Papaniohea, tiba-tiba cangkul Sabuna membentur benda keras yang ternyata adalah hiasan katak yang merupakan bagian dari gong nekara. Sejak berakhirnya Dinasti Putabangun, pada tahun 1760 gong nekara tersebut dipindahkan ke Bontobangun dan menjadi kalompoang/arajang (benda keramat) Kerajaan Bontobangun. Legenda mengenai keberadaan Gong Nekara di Pulau Selayar berasal dari 2 (dua) sumber. Sumber yang pertama yaitu cerita mitos Sawerigading yang berkembang pada periode Galigo, suatu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia dengan pola kepemimpinan religius kharismatis. Sawerigading ditempatkan sebagai tokoh utama dalam perwujudan tata tertib dan penataan pertama masyarakat Bugis - Makassar di Sulawesi Selatan. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10 tetapi Christian Pelras menempatkannya pada sekitar abad ke-12. Sumber yang kedua adalah naskah hukum pelayaran dan perdagangan Ammana Gappa (abad 17) dimana Pulau Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga. Letaknya sangat strategis bagi pelayaran yang menuju ketimur maupun ke barat. Dengan demikian Pulau Selayar menjadi bandar transit bagi lalu lintas pelayaran kala itu. Di dalam naskah itu juga disebutkan tentang daftar sewa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Aceh, Kedah, Kamboja sewanya 7 rial dari tiap seratus (orang) dan apabila naik dari tempat tersebut menuju Selayar, Malaka, Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus (orang).
Dari sumber tersebut memberikan keterangan tentang peranan Pulau Selayar dengan daerah-daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini memperkuat dugaan bahwa gong nekara mungkin didatangkan dari daratan Asia Tenggara pada waktu pengaruh kebudayaan Cina berkembang di kawasan itu. Menurut cerita yang terkait dengan gong nekara di Pulau Selayar, dikatakan bahwa ketika Sawerigading bersama isterinya (We Cuddai) dan ketiga putranya (La Galigo, Tenri Dio, dan Tenri Balobo) kembali dari Cina, dalam perjalanannya menuju ke Luwuk mereka singgah di Pulau Selayar dan langsung menuju ke suatu tempat yang disebut Putabangun dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Di tempat itu mereka dianggap sebagai Tumanurung. Pada saat itulah Tenri Dio dianggap menjadi raja pertama di Putabangun dan menempatkan gong nekara itu sebagai kalompoang di Kerajaan Putabangun. Dari cerita itu dapat disimpulkan bahwa Gong Nekara dibawa dari Cina oleh Sawerigading. Yang dimaksud dengan Cina disini, mungkin adalah Indo China. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya ada dua gong nekara di dunia, yaitu sebuah di Pulau Selayar dan sebuah lagi berada di Cina. Gong nekara yang ada di Pulau Selayar dianggap sebagai suami dan yang ada di Cina dianggap sebagai isteri. Hal ini mengingatkan kita pada nekara yang dipuja berpasangan di daerah Birma yang dipersonifikasikan sebagai pasangan suami isteri. Nekara yang di atasnya terdapat hiasan katak berukuran lebih tinggi melambangkan pria, sedangkan yang tidak memakai hiasan katak dan berukuran lebih kecil dan rendah melambangkan wanita. Dengan demikian nampak adanya persamaan nilai simbolis dari negara penganut kebudayaan perunggu khususnya gong nekara di Indonesia dan Asia Tenggara ( id.wikipedia )